PALU – Pengadilan Negeri (PN) Palu akhirnya menggelar sidang perkara perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan terdakwa Steven Yohanes Kambey dan Hisman yang sebelumnya sempat ditunda. Sidang dengan nomor 46 tahun 2025 ini berlangsung di ruang sidang Chandra dengan agenda pembacaan dakwaan pada Rabu (5/3/2025) kemarin.
Keduanya didakwa Pasal 89 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 tentang pemberantasan dan pencegahan kerusakan hutan Juncto pasal 56 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sejatinya, Steven Yohanes Kambey telah divonis bebas dari perkara dengan nomor register 191 pada 2023 lalu terkait dugaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan telah berkekuatan hukum tetap atas putusan Mahkamah Agung (MA), namun pada 2025 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng kembali melayangkan dakwaan masih terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Apa lagi sebenarnya yang ingin dibuktikan. Dakwaan dari JPU ini sama dengan dakwaan yang dulu yang telah diputus MA, dimana dakwaannya ditolak. Sekarang diajukan lagi dakwaan yang sama, ini kami anggap sebagai pelanggaran HAM. Ini sudah menyita waktu dan biaya kami, kemudian mau disidangkan lagi, ada apa ini ?” ujar Steven.
Hal itu berdasarkan Pasal 76 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 ayat (5) Undang-undang HAM nomor 39/1999 yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh dituntut dua kali dalam perkara yang sama atas perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dia juga menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28 /PUU-XX/2022, dimana dalam pertimbangan hukumnya halaman 262 dan 263 tentang dakwaan batal demi hukum yang diputus pada putusan akhir dan sudah diperiksa materi perkaranya, apabila diajukan kembali dengan perbaikan surat dakwaan oleh JPU akan terkendala ketentuan nebis in idem. “Artinya perkara dengan terdakwa dan materi perbuatan yang sama telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya,” kata Steven.
Pertimbangan dalam putusan MK RI ini juga menjelaskan yang dimaksud dengan berkas baru dan tidak nebis in idem adalah berkas yg terdakwa dan materi perbuatannya berbeda bukan hanya sekedar dakwaan yang diperbaiki. Penerapan asas nebis in idem guna melindungi terdakwa dari penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum dan pengadilan. “Serta melindungi hak asasi terdakwa dan keluarganya,” sambung Steven.
Dalam persidangan pada Rabu (5/3/2025), Steven bertanya kepada majelis hakim yang diketuai Akbar Isnanto SH soal proses register perkara. “Apakah berkas dikembalikan terlebih dahulu kepada penyidik untuk diriset kembali ataukah berkas perkara yang sama itu diregister baru, dari 2023 menjadi 2025 yang mulia?” Tanya Steven.
Namun JPU yang membacakan dakwaan tersebut tak bisa menjawab dengan dalih JPU perkara tersebut yakni P Iskandar Wellang tidak hadir. “Nanti Insya Allah di persidangan selanjutnya pak Iskandar Wellang akan hadir,” ujarnya.
Majelis Hakim sempat bertanya kepada JPU yang hadir tersebut, apakah dakwaan perkara saat ini sama dengan yang sebelumnya yakni antara perkara 191 tahun 2023 dan perkara 46 tahun 2025 ? “Sama, hanya ada perbaikan dalam dakwaan,” kata JPU.
Sidang ditutup dan dilanjutkan pada pekan depan tertanggal 12 Maret 2025 dengan agenda penyampaian keberatan terdakwa. Sebelumnya atas putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap bernomor 4978 tahun 2024 Steven Yohanes Kambey mengajukan permohonan praperadilan permintaan ganti kerugian dalam dugaan tindak pidana di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Steven beralasan bahwa dalam menjalani proses hukum terhadap perkara ini pemohon telah mengalami kerugian materil sebesar Rp 947 juta untuk membayar operasional penasehat hukum, transportasi, operasional petugas pengurus IUP, biaya kerusakan sedimen pond akibat dihentikannya aktivitas tambang serta hilangnya potensi pendapatan pemohon. Selain itu pemohon juga mengalami kerugian immateril akibat stigma negatif saat ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum dengan nilai Rp 1 miliar. (ril)