DISKUSI : HMI menggelar diskusi di kalangan akademisi terkait kejahatan pertambangan ilegal.(Foto: ADE SAFITRI).
PALU – Kerusakan lingkungan dan kerugian sosial yang dirasakan masyarakat akibat dari pertambangan ilegal atau ilegal mining menjadi perhatian serius untuk berbagai pihak, begitupun di kalangan akademisi.
Demi mengkaji dan membahas terkait isu krusial ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menggelar diskusi Intelektual Ilegal Mining dengan tema “Telaah Penegakan Hukum dan Dampak Sosial bagi Masyarakat Sulteng”.
Diskusi tersebut digelar di aula Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Tadulako, Rabu (26/2/2025).
Kegiatan itu menghadirkan narasumber, Dr. Jalaluddin SH. MH dan mahasiswa dari berbagai fakultas dan organisasi sebagai peserta.
Dalam forum diskusi, Jalaluddin mengungkapkan, bahwa substansi hukum di Indonesia mengalami obesitas serta terdapat tumpang-tindih. Selain itu, penegakan hukum di Indonesia terikat erat dengan kultur “saling tolong menolong” sehingga melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hal ini merefleksi dari praktik nepotisme yang terjadi di tubuh pemerintahan.
“Itu yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, struktur hukumnya, susbtansi hukumnya, dan kultur hukumnya,” katanya.
Dia membeberkan ketidakharmonisan baik distruktur pemerintahan maupun penegak hukum juga menjadi faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum.
Jalaluddin juga menilai, semua aspek kegiatan komunitas atau perusahaan tambang memiliki pola pelanggaran hukum yang sama. Indonesia juga memiliki regulasi yang jelas tertuang pada UU No.4 Tahun 2009 mengenai pertambangan mineral dan batubara (Minerba).
Namun, kata dia, ketika ada pihak yang melanggar, undang-undang tersebut tidak dapat ditegakkan.
“Beri aku undang-undang yang buruk, beri aku penegak hukum yang berakhlak. Dengan undang-undang yang buruk pun, saya bisa menegakkan keadilan,” tegasnya
Mengutip dari salah satu buku, Jalaluddin menegaskan, bahwa tegaknya hukum bergantung pada pemangku kebijakan dan penegak hukum.
Diskusi semakin menarik saat dibuka sesi tanya jawab.
Beberapa mahasiswa mengajukan pertanyaan meliputi penelitian UU Minerba yang baru saja disahkan, tetapi tidak mengatur zona aman pertambangan dengan jarak wilayah hutan lindung, pertanggungjawaban perusahaan tambang ilegal yang kerap lolos hukum, serta praktik pertambangan di Morowali yang melanggar aturan mengenai jarak pertambangan dengan pemukiman warga.
Ketua Umum HMI Ari Uzama mengatakan, diskusi ini diangkat ke lingkup akademis berangkat dari redupnya gerakan-gerakan mahasiswa. Juga sebab kurangnya perhatian terhadap isu ilegal mining.
Dia menjelaskan bahwa semua pihak harus berperan dalam mengawal dan menegakkan peraturan kebijakan, baik dari pihak kepolisian, masyarakat, serta diperlukan respon kolektif dan objektif dari mahasiswa.
“Hanya untuk merasang, teman-teman agar, lebih perhatian kondisi yang ada, di sekitaran kita. Jangan sampai, hal sepele mungkin sekarang tidak diperhatikan, ternyata beberapa tahun ke depan berdampak sekali bagi kita,” jelas Ari.
Diskusi ini diharapkan dapat memacu mahasiswa untuk peduli terhadap kondisi di Sulawesi Tengah serta memulai perubahan dari langkah kecil seperti memperbaiki akhlak dan memperbanyak diskusi serupa.(mg2)
