MORUT – Aktivitas operasional PT Cipta Agro Sakti (CAS) di Desa Menyoe, Morowali Utara, dihentikan paksa oleh warga, Kamis (17/4/2025). Aksi ini dipicu oleh dugaan penggusuran tanah ulayat adat suku To Ta’a Burangas Watu Wuana di Dusun Padangtangkal.
Aksi yang berlangsung di lokasi operasional perusahaan ini dipimpin langsung oleh Mustakim Labangara, seorang tokoh agama sekaligus pendiri Yayasan Menara Emas Sejahtera.
Mustakim menyuarakan sepuluh poin tuntutan warga terkait dugaan perampasan tanah adat yang dilakukan oleh PT CAS di Kecamatan Mamosalato.
Menurut penuturan Mustakim, PT CAS disinyalir tidak pernah melakukan sosialisasi publik mengenai rencana pembukaan lahan perkebunan sawit di wilayah mereka.
Perusahaan diduga kuat telah memasuki wilayah Padangtangkal secara diam-diam dan melakukan penggusuran terhadap sekitar separuh dari total luas tanah adat tanpa memberikan kejelasan mengenai status lahan tersebut, apakah akan dijadikan kebun inti atau plasma.
Ironisnya, selama dua bulan perusahaan beroperasi, warga Desa Menyoe belum menerima kompensasi atau ganti rugi atas lahan adat yang telah dibuka secara paksa oleh alat berat perusahaan.
“Inti permasalahan adalah penggusuran sekitar separuh dari tanah ulayat adat Ta Burangas tanpa kejelasan tujuan, apakah untuk plasma atau inti perkebunan,” tegas Mustakim.
Lebih lanjut, Mustakim mengungkapkan bahwa alat berat yang rencananya digunakan untuk perbaikan infrastruktur desa justru dihalang-halangi oleh pihak perusahaan.
Dalam orasinya, Mustakim juga mengecam keras pernyataan Amri Chandra, yang disebut sebagai perwakilan PT CAS, yang menuduh dirinya telah melakukan tindakan “membodohi” masyarakat setempat.
Padahal, Mustakim telah mendedikasikan hidupnya untuk memberdayakan masyarakat adat Wana di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan keagamaan.
“Sepuluh tahun saya membina masyarakat di sini. Saya tidak terima jika disebut membodohi mereka,” tegas Mustakim.
Selain itu, Mustakim juga menuntut Amri Chandra untuk membayar kompensasi sebesar Rp30 juta atas pemanfaatan fasilitas yayasan miliknya tanpa adanya kontribusi selama tiga bulan terakhir.
Kritik tajam juga dilayangkan Mustakim kepada Kepala Desa Menyoe, Sulwinsis Dowo, yang dinilai tidak transparan dalam menyikapi kehadiran investor perkebunan sawit ini.
Ia menyatakan bahwa tidak pernah ada musyawarah atau pemberitahuan resmi kepada masyarakat terkait kedatangan PT CAS.
Lebih lanjut, Mustakim menyayangkan sikap pemerintah daerah yang dinilai tidak hadir dalam membela hak-hak masyarakat adat Wana. Alasan klasik yang kerap dilontarkan adalah tidak adanya dokumen resmi kepemilikan tanah adat.
“Darah kami tertumpah di tanah ini. Itu adalah legalitas kami sebagai pemilik tanah ulayat,” tandas Mustakim.
Djabar Lahadji, seorang mantan anggota DPRD Morut ikut menanggapi aksi protes warga Padangtangkal dan mengungkapkan potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT CAS.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 42, yang secara jelas mewajibkan perusahaan perkebunan untuk memiliki Hak Guna Usaha (HGU) sebelum melakukan pembukaan lahan.
Djabar juga mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015 yang memperkuat bahwa HGU merupakan syarat utama dalam pengelolaan lahan perkebunan, bukan hanya sekadar Izin Usaha Perkebunan (IUP).
“Atas dasar apa PT CAS menggusur lahan sementara belum ada HGU-nya? Harusnya HGU yang dijadikan landasan membuka kebun, bukan semata IUP. Karena bisa jadi luasan IUP tidak berkesesuaian dengan HGU,” ujarnya.
Kehadiran PT CAS, menurut Djabar Lahadji menjadi ancaman terhadap Suku Wana Ta’a Burangas maupun anak suku Wana lainnya di wilayah Mamosalato.
Pasalnya, ribuan hektar tanah ulayat berpotensi dialihkan untuk sawit setelah PT CAS memperoleh rekomendasi kesesuaian ruang (RTRW) dari Pemkab Morut.
“Saya ikut memberikan pendapat terkait penghormatan hak adat, hak ulayat Tau Ta’a Wana. Persoalan itu layak di advokasi,” kata Djabar.
Menanggapi permasalahan ini, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Morut, Aramansyah, membenarkan bahwa PT CAS telah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR).
Menurutnya, PKKPR menjadi dasar bagi perusahaan untuk memperoleh Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sebagai pengganti izin lokasi sebelumnya.
Namun, Aramansyah belum memberikan pernyataan resmi terkait status HGU yang dimiliki oleh PT CAS.
“Nanti saya jelaskan berdaarkan data-data yang ada,” ujarnya via telepon, Sabtu (19/4/2025)
Aksi protes warga sempat memanas akibat adu argumen antara perwakilan warga dan pihak manajemen PT CAS. Warga tetap bersikeras dengan tuntutan mereka agar perusahaan segera menarik seluruh alat berat yang saat ini berada di wilayah adat yang tidak termasuk dalam area IUP perusahaan.
“Jika dalam waktu 14 hari tidak ditarik, maka kami akan bertindak lebih tegas,” tegas Mustakim bersama warga lainnya.
Humas PT CAS Malik Pusadan, mengabarkan bahwa aksi pemalangan warga Padangtangkal sudah berakhir. Namun ia tidak menjelaskan terkait penyelesaian dampak penggusuran lahan warga.
“Mustakim Labangara setuju palang dibuka setelah kami melakukan dialog,” kata Malik Pusadan via telepon, Sabtu (19/4).
Malik Pusadan lantas mengkonfrmasi bahwa Bupati Morut Delis Julkarson Hehi akan hadir dalam acara ceremmonial penanaman sawit PT CAS di area Padangkalan, Menyoe pada 2 Mei 2025.
“Kebetulan Bupati Morut ada kunjungan Hardiknas di Menyoe, jadi kami mengundang beliau untuk hadir dalam ceremonial penanaman sawit,” tandasnya. (ham)
