Area pemukiman sekitar tambang identik dengan kawasan yang kumuh, berlumpur dan penuh sampah. Namun tidak demikian yang terlihat di Sorowako. Di area pertambangan milik PT Vale ini, pemukiman warga semua tampak tertata rapi dan bersih.
LAPORAN: Agung Sumandjaya, Sorowako
BUKAN hanya perumahan milik perusahaan, namun juga pemukiman warga sekitar area PT Vale tampak bersih. Sorowako sendiri merupakan desa yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Sejak Tahun 1968 ketika PT Vale masih bernama PT Inco, Sorowako menjadi nama desa baru di Kecamatan Nuha.
Sorowako merupakan pemekaran dari Desa Nikkel. Istilah Sorowako pun menjadi lebih tersohor sebagai nama kawasan permukiman dan pusat operasional PT Inco atau PT Vale saat ini. Meski secara administratif Sorawako adalah sebuah desa, namun yang tampak terlihat Sorowako layaknya wilayah perkotaan.
Sejak dulu Sorowako dikenal sebagai daerah yang bersih, meski merupakan area pertambagan. Hal itu tidak lepas dari komitmen PT Vale Indonesia Tbk, yang merupakan bagian dari MINDID, untuk tidak sekadar menjalankan operasi tambang, namun juga bagaimana menjaga lingkungan tetap lestari. Dalam strategi bisnisnya, PT Vale telah mengintegrasikan prinsip-prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola atau Environmental, Social, and Governance (ESG).
Sebagai daerah yang terus berkembang, jumlah penduduk di Sorowako juga terus bertambah. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Luwu Timur menyebutkan, penduduk di Kecamatan Nuha sudah mencapai 24.978 jiwa di Tahun 2025. Ini naik sekitar 2.000 an jiwa, dibanding data BPS pada 2020 silam yang mencatat jumlah penduduk sebanyak 23.400 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk ini pun, berdampak terhadap jumlah produksi sampah rumah tangga maupun sampah di sekitar industri.
Mengantisipasi produksi sampah berlebih yang dihasilkan penduduk Sorowako, PT Vale lewat prinsip-prinsi ESG-nya, sudah melakukan berbagai upaya untuk tetap menjadikan Sorowako tidak hanya sebagai kota yang bersih, namun juga ramah terhadap lingkungan. Salah satunya lewat Segregation Plant milik PT Vale. Segregation Plant adalah pusat segregasi atau pemilahan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat di sekitar perusahaan.
Radar Palu Jawa Pos Group, beserta puluhan media dari Jakarta, Sulsel, Sulteng dan Sultra berkesempatan melihat dari dekat Segregation Plant yang dikelola oleh PT Hati Murni, selaku kontraktor. Segregation Plant berdiri sejak 2021 dan telah memiliki 43 karyawan, tujuh diantaranya merupakan Wanita.
Foreman Ground Work Segregation Plant PT Vale, Hery Sudarto mengatakan, setiap harinya truk pengangkut sampah yang selesai ditimbang akan dipilah sampah-sampahnya.
“Sampah ini kemudian dipilah, mana yang limbah seperti plastik, kaca, kertas, termasuk limbah B3 dan bahan karet seperti ban mobil, kayu serta daun-daun kami tempatkan di masing-masing tempat sesuai jenis sampah. Ada juga sisa makanan yang dikumpulkan khusus oleh mobil pikap lewat embernisasi dari rumah warga,” ungkap Hery, Sabtu (26/7/2025).
Setiap harinya, Segregation Plant mampu melakukan pemilahan sampah 10 ton hingga 20 ton sampah. Sejumlah sampah yang telah terpilah seperti sampah anorganik, akan didonasikan ke Bank Sampah yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Ada yang didaur ulang untuk menjadi kerajinan tangan, ada pula yang dijual kembali, seperti kertas dan plastik yang bernilai rupiah.
“Sedangkan untuk sampah organiknya, seperti kayu dan dedaunan akan dijadikan kompos, sedangkan sisa-sisa makanan dari rumah warga dan kantin perusahaan dikumpulkan lewat emberisasi selanjutnya digunakan untuk diurai lewat budidaya maggot (larva lalat Black Soldier Fly) yang bisa menjadi pakan ternak unggas maupun ikan,” papar Foreman Ground Work Segregation Plant ini.
Kompos kata Hery, juga dipakai oleh Nursery atau tempat pembibitan berbagai jenis tanaman yang ada di Taman Kehati Sawerigading milik PT Vale. Bila ada permintaan dari masyarakat, maggot maupun kompos bisa diberikan dengan cuma-cuma. Jenis sampah terbanyak yang disortir, masih didominasi oleh sampah plastik, sekitar 15 persen dari jumlah sampah keseluruhan yang masuk.
“Untuk sampah plastik perbulannya itu bisa sampai 1,2 ton. Sejak januari hingga juli 2025, kami sudah donasikan sebanyak 9 ton plastik ke komunitas,” terangnya.
Adapun rinciannya, khusus semester pertama di 2025 ini, sampah karet (ban kendaraan) seberat 33.251,65 kilogram, sampah kain seberat 8.800,45 kilogram, sampah kertas 19.810,33 kilogram, alumunium 9.976 kilogram yang terpilah dan 550 kilogram di antaranya didonasikan ke Bank Sampah. Selanjutnya, untuk sampah botol kaca yang terkumpul seberat 5.247 kilogram kemudian didonasikan sebanyak 2.276 kilogram dan botol plastik 11.823 kilogram. Tidak hanya itu, adapula plastik yang dipilah sebanyak 10.294 kilogram dan limbah kayu seberat 153.815 kilogram.
Kompos sendiri yang berhasil diproduksi dari daun dan ranting serta sampah organik lainnya di semester pertama ini mencapai 13.780 kilogram, sedangkan maggot, yang dihasilkan dari sisa-sisa makanan lewat proses emberisasi, sebanyak 1.717 kilogram dan 87 kilogram diantaranya sudah didonasikan kepada masyarakat untuk digunakan pakan ternak.
MGR Ops dan Reclamation Segregation Area PT Vale Indonesia Muh Firdaus Muttaqi menyampaikan, Segregation ini salah satu kontribusi PT Vale, bagaimana mengolah sampah domestik berbasis sirkular dengan pemilahan sampah bernilai ekonomis. Upaya pemilahan dan pemanfaatan sampah ini, berprinsip pada Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (daur ulang) akan secara signifikan mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
“PT Vale juga ingin mencapai target Zero Waste to Landfill (ZWTL) atau nol sampah ke tempat pembuangan akhir Tahun 2050,” ucapnya.
Diakui Firdaus, sampah-sampah yang diolah di Segregation Plan ini baru berasal dari pemukiman warga di sekitar Sorowako dan sampah dari perusahaan. Namun, PT Vale tengah menjajaki Kerjasama dengan pemerintah daerah lain, khususnya yang masuk wilayah operasi PT Vale, agar bisa menerapkan sistem pengolahan serupa di Sorowako.
“Kami berharap sistem segregation ini bisa diperluas, agar pengelolaan sampah secara terpadu ini, tidak hanya berhenti di sini (Sorowako),” ungkapnya.
Kompos dari Segregation Plant untuk Taman Kehati
Salah satu pengguna kompos dari Segregation, adalah Taman Keaneka Ragaman Hayati (Kehati) Sawarigading. Jaraknya selemparan batu. Sangat dekat. Tidak hanya taman, di tempat ini pula berbagai bibit tanaman pohon disemai untuk selanjutnya ditanam di sejumlah eks area tambang yang telah direklamasi.
Taman ini merupakan Kawasan khusus yang mengintegrasikan fungsi konservasi, edukasi, dan rekreasi. Terletak di area seluas ±71,8 hektare, taman ini menjadi rumah bagi berbagai jenis tumbuhan lokal, tempat penangkaran rusa timor (Rusa timorensis), serta konservasi kupu-kupu lokal dan endemik. Supervisor Nursery and Reclamation PT Vale, Abkar mengungkapan, khusus Nursery di Taman Kehati, menggunakan lahan sekitar 2 hektar. Nursery sendiri sudah lebih dahulu berdiri, sebelum diresmikannya Taman Kehati.
“Untuk nursery atau persemaian ini sudah ada sejak 2005, hampir dua puluh tahun. Bibit-bibit pohon ini nantinya kami tanam di reklamasi bekas-bekas tambang. Dan di area Taman Kehati, yang sudah banyak pohon tumbuh ini, dahulu juga adalah bekas area tambang,” sebut Abkar.
Sejak adanya Segregation Plant, kompos yang digunakan juga berasal dari segregation. Dia pun mengaku sangat terbantu dengan adanya segregation yang memproduksi kompos. Fasilitas persemaian atau nursery milik PT Vale ini, setiap tahunnya bisa memproduksi sekitar 700 ribu bibit pohon.
Bibit-bibit tanaman itu diantaranya; bibit pohon Nato (elaeocarpus culminicola), Bitti (Vitex Copassus), Kayu Angin (Usnea Thalsus), Sengon (Albizia chinensis), Manggis (garcinia spp) Ekaliptus, Buri (weinmannia blumei), Betau, Uru (Elmeria Sp), Eboni (Diospyros celebica) dan Buah Dengen (Dillenia serrata thunb) atau sejenis buah khas yang banyak tumbuh di wilayah Sorowako.
Belajar Menjaga Lingkungan Lewat Emberisasi
Tidak hanya Segregation Plan, upaya lain yang juga dilakukan untuk mengatasi masalah sampah di wilayah Sorowako, ialah dengan program Emberisasi. Emberisasi adalah pemilahan sampah organik sisa makanan yang dimulai dari rumah penduduk dengan menyimpannya ke dalam ember, sebelum diambil oleh petugas kebersihan untuk diolah lebih lanjut.
Rina, Warga Lingkungan Pontada, Sorowako, mengungkapan awal program emberisasi ini digagas PT Vale, dirinya sempat pesimis dan berpikir bahwa ini akan menambah kerjaan di rumah. Namun, seiring waktu dirinya dan keluarga jadi terbiasa dan akhirnya disiplin untuk memilah sampah sisa makanan ke dalam ember khusus yang diberikan PT Vale. “Pertamakali dapat ember dan terapkan emberisasi sejak Desember 2024, susah-susah gampang memang, adaptasinya sekitar dua minggu, memilah sampah basah dan plastik maupun sampah lainnya. Bahkan minyak jelanta sisa penggorengan kami ikut kumpul dan jual, lumayan juga harganya,” ungkap Rina.
Istri dari pegawai PT Vale ini menyebut, saat ini, dirinya sudah bisa menularkan program emberisasi ini kepada seluruh tetangga. Bahkan, ada tetangga yang masih membuang sisa makana di plastik tidak dalam ember, maka tidak segan-segan ibu tiga anak ini akan menasehati tetangganya.
Ketua RT 4, Lingkungan Pontada, Ashadi Cahyadi mengungkapkan, pihaknya sangat mendukung program emberisasi ini dalam rangka menyukseskan target Zero Waste to Landfill 2050 yang digagas oleh PT Vale. Salah satu cara untuk mencapai target itu, kata dia memang harus dimulai dari hulu produksi sampah.
“Harus dari rumah kami dulu, untuk memilah sampah, mana yang bisa didaur ulang, mana residu, mana yang bisa untuk kompos dan mana sisa makanan untuk kemudian dimasukan dalam ember. Jadi di luar rumah ada tiga tong sampah dan satu ember untuk sisa makanan yang kami kumpul dahulu di dalam rumah,” terang Ashadi, yang juga karyawan PT Vale dari Departemen Health and Safety.
Kini disampaikan Ketua RT, semua warga di RT 4 sudah memilah sampah dan memilii ember untuk sisa makanan. Hampir 7 bulan menerapkan program emberisasi ini, Ashadi menyampaikan, bahwa manfaatnya sangat dirasakan.
“Seperti melatih kedisiplinan semua anggota keluarga termasuk anak-anak, mereka jadi paham bagaimana ikut serta menjaga lingkungan,” ucapnya.
Dari Sisa Makanan Menjadi Energi
Makanan sisa atau sampah organik yang dikumpulkan dari perumahan dan perusahaan, tidak hanya dikelola di Segregation Plant untuk menjadi maggot saja, sebagian lainnya diolah di Biodigester, menjadi biogas dan pupuk organik cair. Di instalasi Biodigester yang diberinama Bioni (Biodigester Nickel), yang merupakan hibah dari PT Vale dan bagian dari Corporate social responsibility (CSR)perusahaan itu dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa Bersama (Bumdesma) Anatowa.
Manager Strategic Environmental and Reclamation PT Vale, Umar Kasmon menyampaikan, bahwa Bioni baru setahun beroperasi. Lokasinya pun berada di tengah-tengah area Pasar Magani, Sorowako. Saat ini, instalasi gas methan hasil dari Bioni, sudah terpasang ke 14 dapur warung-warung makan yang ada di Pujasera Pasar Magani.
“Bioni maupun emberisasi ini lahir dari keprihatinan kami melihat dan mengidentifikasi bahwa 30 persen sampah yang berujung ke TPA (tempat pembuangan akhir) atau ke landfill itu adalah sampah organi yang merupakan makanan sisa baik dari rumah warga maupun dari kantin yang ada di perusahaan,” kata Umar.
Khusus cara kerja Biodigester kata Umar, cukup sederhana. Sisa makanan yang diambil dari rumah-rumah warga dan kantin milik Vale, selanjutnya dimasukan ke dalam Biodigester, berupa tandon besar ditambahkan air. Dalam tandon tersebut lah sisa-sisa makanan akan melakukan proses anaerob dan terurai dibantu oleh bakteri sehingga menjadi gas metan yang kemudian dialiri ke tangki penyimpanan gas methan.
“Sedangkan cairan dari sisa makanan itu kami ambil lagi, karena sudah bisa menjadi pupuk organik cari atau POC,” papar Umar.
Tekanan gas methan, kata dia, sangat rendah, maka diperlukan lebih banyak lagi sisa makana yang dimasukan. Untuk kapasitas Biodigester sendiri, mampu menampung 100 kilogram sisa makanan. Mengingat sisa makanan belum sepenuhnya diarahkan ke Biodigester dan masih berbagi dengan Segregation Plant, maka gas yang dihasilkan belum cukup banyak.
“Gas yang ada ini baru tersalurkan ke 4 tungku atau kompor warga, dengan waktu penggunaan empat sampai enam jam,” jelasnya.
Terkait lokasi instalasi Biodigester ini, dipilih di sekitar pasar dan dekat sekolah, tujuannya juga untuk bisa menjadi bahan komunikasi, edukasi dan kampanye langsung ke Masyarakat, agar sampah bisa dimanfaatkan lagi dengan cara memilah di awal. Karena sampah makanan yang sudah tercampur dengan material lain, ujung-ujungnya pasti akan ke TPA atau dibakar.
“Kalau membakar hasilnya bukan seperti gas begini bisa bermanfaat, tapi justru berbahaya dan beracun. Untuk itu lah lokasi Bioni ini sengaja kita bangun di tempat umum yang bisa diakses dan terlihat oleh Masyarakat,” terang Umar.
Biodigester setiap hari selalu diisi dengan sisa makanan. Proses penguraian sisa makanan dengan metode anaerob ini berlangsung kurang lebih seminggu hingga menjadi gas dan mengalir ke penampungan gas. Karena, tekanan gas yang rendah hanya 1 psi, untuk meneruskan ke kompor pemilik warung maka didorong menggunakan alat yang dinamakan booster semacam mesin pompa air.
“Para pemilik warung karena sudah merasakan manfaatnya, mereka juga kami minta untuk mulai belajar memilah sampah sisa makanan, untuk selanjutnya dimasukan ke dalam Biodigeseter dengan bantuan operator dari Bumdesma,” katanya.
Kedepan, bila pasokan sisa makanan mulai banyak, dan gas sudah bisa digunakan seluruh pemilik warung, maka biaya operasional termasuk mengenakan iuran kepada pemilik warung akan diserahkan sepenuhnya kepada Bumdesma. Adapun investasi yang dibantu oleh PT Vale, untuk pengadaan Biodigester ini senilai Rp400 juta.
Adanya gas yang dihasilkan dari Biodigester ini, sudah sejak tiga bulan yang lalu dirasakan manfaatnya oleh pemilik warung makan. Salah satunya Amel (37). Dia mengaku sangat terbantu dengan adanya gas dari Biodigester ini, untuk menghemat pengeluaran.
“Sudah saya fungsikan untuk memanaskan air dan juga makanan seperti sup pakai gas dari Bioni, tidak berbau. Tapi kalua menggoreng biar cepat, kami masih pakai gas elpiji tiga kilogram. Tapi penggunaan gas elpiji sudah tidak seperti dulu, lebih hemat lah pokoknya,” akunya.
Dia pun kini sudah sadar, bahwa sisa makanan juga bisa bermanfaat, bila dipilah dan dipisahkan dari sampah-sampah lainnya. Untuk itu lah, sisa-sisa makanan yang tidak dihabiskan oleh pembeli ataupun jualan yang tidak habis dan sudah basi, maka akan disendirikan di suatu wadah, mirip seperti program emberisasi.
“Jadi sudah tidak kami buang dan satukan lagi sampah sisa makanan. Kita pilah dulu, baru serahkan ke pengelola Bioni ketika memasukan sisa makanan, hampir setiap hari kami juga menyumbang sisa makanan ke Biodigester,” tandas Amel. (**)
