MOROWALI UTARA – Pengamat hukum dan aktivis di Morowali Utara mengingatkan bahwa pencurian buah sawit bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat, melainkan bentuk penegakkan supremasi hukum.
Ada dua aspek yang harus dibedakan dalam kasus ini, yaitu klaim kepemilikan tanah dan kepemilikan tanaman.
Demikian sebuah pernyataan yang diungkapkan Moh Falar Anwar, seperti dikutip dari metrosulteng.
Pernyataan tersebut terkait dengan tindakan para klaimer lahan di perkebunan kelapa sawit PT Agro Nusa Abadi (ANA), Morowali Utara. Polisi menangkap mereka dengan kasus pencurian buah kelapa sawit.
“Jangan sampai Hak Guna Usaha (HGU) PT ANA dijadikan isu konfrontasi agar masyarakat bisa masuk dan memanen sawit perusahaan. Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tanah yang ingin didaftarkan harus dibuktikan terlebih dahulu eksistensi penguasaan dan pemanfaatannya selama 20 tahun,” jelasnya.
“Tidak ada petani sawit yang dipolisikan PT ANA,” kata Moh Falar Anwar. “Itu harus diluruskan,” kata aktivis pejuang hukum ini menegaskan dihubungi Kamis (27/3/2025) sore.
Menurut Falar, penyebutan para klaimer yang berseteru dengan PT ANA menggunakan istilah “petani sawit” juga tidak tepat.
Sebab, sepengetahuannya, seluruh tanaman sawit di wilayah yang dituntut oknum masyarakat merupakan hasil pembibitan dan penanaman yang dilakukan PT ANA sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Karena oknum-oknum klaimer lahan memaksa masuk kebun dan memanen buah dari pohon-pohon sawit, mereka ditangkap. Tindakan yang merugikan perusahaan itu dibawa ke ranah hukum.
Sepengetahuan Falar, tidak tepat ada penyematan petani sawit bagi warga Morowali Utara yang berseteru dengan PT ANA. Penggunaan kata petani sawit dalam masalah ini sebaiknya tidak lagi dipakai.
Menurutnya, oknum masyarakat yang dipolisikan adalah mereka yang mengklaim dan kepemilikan lahan. Secara hukum, tindakan tersebut melanggar Pasal 362 jo 363 KUHP, yang menyatakan siapapun yang hendak menguasai barang milik orang lain dengan cara melawan hukum dapat dijerat pidana.
“Dalam pasal itu disebutkan ada unsur ‘hak’ yang harus dibuktikan. Jika memang masyarakat merasa berhak atas lahan sawit tersebut, mana bukti dan dalil hukumnya? Jangan hanya menggugat tanah, lalu ikut mengambil buah sawitnya,” tegasnya.
Falar juga menyoroti peran Eva Bande yang dulunya mengadvokasi masalah ini. Sekarang Eva Bande menjadi Ketua Satgas penyelesaian konflik agraria.
Advokasi yang dilakukan Eva Bande dan kawan-kawan, menurut Falar harusnya lebih mengedukasi masyarakat terutama para klaimer.
Supaya masyarakat memahami bahwa perjuangan hukum dan tindakan melawan hukum, adalah dua hal yang berbeda.
“Perjuangan hak harus dilakukan dengan cara yang benar. Jika hak sudah terbukti, maka seseorang tidak akan dicap sebagai pencuri. Jangan mengambil sawit sebelum hak atas tanah itu terbukti dulu. Edukasi-edukasi seperti ini yang harus diberikan ke masyarakat,” kritiknya.
Ia mengibaratkan tuntutan klaimer lahan PT ANA, seperti perbedaan antara Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
STNK tidak serta-merta menunjukkan kepemilikan kendaraan, sebagaimana SKPT yang dikeluarkan desa tidak serta-merta menjadi bukti kepemilikan tanah.
Sedangkan sertifikat hak alas ibarat BPKB. Itu diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan memiliki kedudukan yang lebih kuat.
“Artinya, masyarakat harus memahami perbedaan antara hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sertifikat hak milik. Saya tidak mendiskreditkan perjuangan masyarakat dalam mengklaim tanahnya di Morowali Utara. Tapi harus memahami substansi tuntutannya dan tidak tendensius,” ujarnya.
Sebagai pegiat hukum, Falar menilai langkah Polda Sulawesi Tengah dalam menindak pelaku pencurian sawit sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ia juga menekankan persoalan HGU PT ANA adalah masalah terpisah, yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang ada.
“Saya tidak mengatakan bahwa PT ANA benar sepenuhnya, karena faktanya mereka belum memiliki HGU. Namun, kita adalah negara hukum, sehingga segala permasalahan harus diselesaikan secara rasional sesuai dengan aturan yang berlaku,” tandas Falar. (*)
