RADAR PALU – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tampak gencar mempermasalahkan konflik agraria dan legalitas berupa Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. Mereka bahkan menerbitkan laporan pelanggaran perusahaan. Salah satunya perkebunan sawit yang beroperasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Tak hanya itu, Walhi bahkan mengirimkan surat dan mengancam produsen merek-merek internasional yang menggunakan bahan dasar berupa crude palm oil (CPO) agar menghentikan pembelian minyak sawit.
Sayangnya, temuan dan pengaduan yang disampaikan Walhi banyak diragukan. Kehadiran Walhi di lapangan juga dipertanyakan.
Keraguan itu disampaikan salah satu peserta konferensi pers yang digelar Tuk Indonesia secara online, Rabu (18/6/2025). Saat itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Eksekutif Nasional, Uli Arta Siagian, hadir sebagai salah satu nara sumber.
“Walhi jangan hanya bicara, yang mendengar sepihak laporan-laporan bahwa di sana ada kriminalisasi dan pelanggaran HAM,” ujar wartawan yang mengaku tinggal di Morowali Utara dan sangat mengenal daerah itu .
Ia menyebut bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan sawit justru membawa perubahan positif bagi kehidupan masyarakat Morowali Utara, Sulawesi Tengah serta wilayah Sulawesi pada umumnya. Hal ini dapat terlihat dari perkembangan wilayah dalam beberapa dekade terakhir di Sulawesi yang dibuktikan melalui pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.
Ia juga mengungkap bahwa pihak-pihak yang mengklaim lahan tidak pernah menanam sawit. Orang-orang itu justru datang memanen hasil dari pohon yang ditanam oleh perusahaan.
Walhi diketahui gencar mempermasalahkan lahan perkebunan kelapa sawit. Mereka bahkan menerbitkan laporan pelanggaran perusahaan.
Bahkan, Walhi juga mengirimkan surat dan mengancam produsen merek-merek internasional yang menggunakan bahan dasar berupa crude palm oil (CPO) agar menghentikan pembelian minyak sawit dari perusahaan induk perusahaan tersebut.
Namun temuan dan pengaduan yang disampaikan Walhi banyak diragukan. Sebab itu kehadiran Walhi di lapangan dipertanyakan.
Uli tidak menanggapi ketika disindir mengenai pengetahuan dan kehadirannya di lapangan untuk melakukan verifikasi atas masalah-masalah yang dipresentasikannya hingga ke tingkat global tersebut.
Peserta tersebut berjanji mengajak Uli dan Walhi ke lapangan agar bisa melihat kondisi yang sebenarnya dan menemui warga masyarakat sekitar yang mengeluh dan terdampak dengan klaim lahan yang dilakukan oknum masyarakat.
Sementara itu, peserta lainnya menyebut dampak konflik agraria yang menurutnya telah berlarut-larut. Ia mengungkap banyak pengklaim lahan yang ternyata bukan warga lokal. Akibatnya, warga asli menjadi terdampak dan kehilangan hak untuk hidup tenteram bersama perusahaan.
Peserta lantas mempertanyakan langkah konkret yang akan diambil WALHI dalam mendorong resolusi konflik dan mencegah konflik horizontal semakin tajam.
Menjawab kritik dan pertanyaan peserta, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan verifikasi lapangan melalui jaringan lokal dan tidak asal mengeluarkan pernyataan di ruang publik.
“Jika ada informasi yang tidak sesuai, silakan membantah melalui laporan yang juga disampaikan ke publik,” ujar Uli.
Sayangnya, perwakilan Walhi Sulteng yang juga ikut dalam konferensi pers ini tak ikut menyanggah keraguan dari penanya.
Uli menyebutkan bahwa masalah di Morowali Utara bukan hanya menjadi perhatian WALHI, tapi juga pejabat seperti Wakil Ketua DPRD Sulteng.
Menurutnya, akar persoalan adalah lemahnya pengawasan dan evaluasi dari pemerintah terhadap aktivitas 43 perusahaan yang sedang berproses memperoleh tanpa HGU (Hak Guna Usaha) yang beroperasi di wilayah tersebut.
Mengenai peran WALHI, Uli malah menekankan pentingnya pemerintah untuk mengidentifikasi dengan benar siapa yang memiliki hak atas lahan serta siapa yang berhak untuk tidak dikriminalisasi saat memperjuangkan haknya. Menurutnya, yang paling bertanggung jawab atas permasalah agraria ini adalah pemerintah.
Dari catatan Radar Palu, kompleksitas konflik agraria di Sulawesi melibatkan berbagai aktor dan kepentingan. Penerbitan SKT dan SKPT ganda di lahan yang sama jadi penghalang perusahaan ini mengurus HGU. Sementara itu para klaimer terus bertambah, hak masyarakat lokal yang seharusnya mendapatkan manfaat dari kehadiran perusahaan menjadi terganggu.
Tidak hanya bersinggungan dengan perusahaan sawit, para klaimer juga sampai saling meng-klaim sebagai pemilik lahan yang sama. Hampir setiap hari ada saja warga yang merekam dan menyebar aksi klaimer ini.
Bahkan, kebun-kebun plasma yang dibangun perusahaan sawit sebagai bagian dari pola kemitraan dengan masyarakat turut menjadi sasaran klaimer. Kebun-kebun itu juga mereka jarah, buahnya dipanen meskipun tidak ada satu batang pohon sawit yang ditanam para klaimer di kebun-kebun tersebut.
Karena praktik tersebut sudah menganggu, masyarakat gerah dan bersatu melawan aktivitas klaimer yang semakin agresif. (ham)
